Saya
melakukan perjalanan pulang setelah melakukan safar yang cukup lama. Setelah
mengambil posisi di pesawat, qadarullah, posisiku di dekat sekelompok pemuda
yang doyan hura-hura. Ketika tertawa dibuat terbahak-bahak, dan terlalu banyak
bersenda gurau. Tempat itupun penuh dengan bau rokok mereka.
Ketika
itu, pesawat penuh penumpang, sehingga tidak memungkinkanku untuk berpindah
tempat. Ingin sekali aku pergi dari tempat ini, biar aku bisa istirahat. Sesak
rasanya duduk bersama mereka. Aku hanya bisa menenangkan pikiranku dengan
mengeluarkan mushaf dan membaca Al-Quran dengan suara pelan.
Beberapa
saat kemudian, kondisi mulai tenang. Ada diantara pemuda ramai itu mulai
membaca koran, ada yang sudah mulai tidur. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan
salah satu pemuda yang hura-hura duduk di sampingku: cukup..cukup…! Saya
mengira dia merasa terganggu dengan suaraku. Akupun minta maaf, dan melanjutkan
baca Al-Quran dengan suara pelan yang hanya bisa kudengar.
Tiba-tiba
orang itu menutupi wajahnya dengan tangannya, kepalanya naik turun, maju
mundur, dengan respon kasar dia memarahi saya: ‘Saya sudah minta kamu untuk
diam, diam. Saya gak sabar!’ Diapun langsung pergi meninggalkan tempat
duduknya, menghilang dari pandanganku. Sampai akhirnya dia kembali. Dia minta
maaf, dan menyesali perbuatannya, kemudian tenang di tempat duduknya.
Saya
tidak tahu, apa yg sedang terjadi. Tapi setelah tenang sejenak, dia melihat
saya dan air matanya mengalir. Di situlah dia mulai bercerita:
Sudah
kurang lebih tiga tahun, saya belum pernah meletakkan dahiku untuk sujud, saya
tidak menyentuh sedikitpun satu ayat dalam Al-Quran. Sebulan ini saya melakukan
traveling. Hampir semua maksiat telah aku cicipi dalam perjalanan ini.
Aku
mendengar anda membaca Al-Quran. Terasa hitam dunia di wajahku. Sesak dadaku.
Aku merasa sangat hina. Aku merasa semua ayat yang engkau baca menghantam
jasadku, layaknya cambuk. Akupun bingung dan bertanya pada diriku: ‘Sampai
kapan kelalaian ini akan kualami?’ ‘Kemana lagi aku harus melaju?’ ‘Setelah
piknik penuh hura-hura ini apalagi yang harus aku lakukan?’ Lalu tadi aku ke
toilet. Tahu kenapa? Saya ingin menangis sejadinya, dan tidak ada tempat yang
terlihat manusia, selain toilet.”
Akupun
menasehatinya untuk bertaubat, kembali kepada Allah. Setelah itu dia terdiam.
Ketika pesawat mendarat. Dia memintaku ngobrol sejenak. Seolah dia ingin
menjauh dari kawan-kawannya. Semangat kesungguhan untuk bertaubat sangat
kelihatan dari raut wajahnya. Dia bertanya: “Apa mungkin Allah akan menerima
taubatku?” Kujawab dengan firman Allah, ‘Apakah anda pernah membaca firman
Allah,
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
Az-Zumar: 53)
Dia
mulai senyum kecil, senyum penuh harapan dan air matanya berlinangan. Dia
menyampaikan kepadaku: “Saya janji, saya akan kembali kepada Allah.”
Pelajaran:
Manusia
adalah makhluk lemah. Tak kuasa untuk
bersih dari dosa dan maksiat. Ditambah dengan godaan pasukan iblis yang
berusaha selalu menyeretnya ke dunia hitam. Tidak ada yang maksum kecuali para
Nabi yang Allah lindungi dari dosa besar. Di saat yang sama, Allah membuka
pintu taubat yang seluas-luasnya, agar mereka tidak putus asa dari rahmat Sang
Pencipta. Tinggal satu yang perlu digugah: Kapan saatnya kita mau bertaubat?
Jika
Allah sangat menyayangi kita, mengapa diri kita tidak menyayangi diri kita
sendiri.
Dalam perjalanan pulang dari peperangan, kaum
muslimin membawa kemenangan besar. Mereka pulang dengan membawa harta rampasan
dan tawanan. Tiba-tiba ada seorang ibu diantara tawanan itu, yang kebingungan
mencari anaknya. Sampai akhirnya ketemu dan dia susui. Melihat hal ini,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat,
أتروْن
هذه طارحةً ولدَها في النار؟
“Mungkinkah wanita ini akan melemparkan
anaknya ke api?”
Para
sahabat spontan menjawab: “Demi Allah, tidak mungkin.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menimpali:
الَلَّهُ
أرحمُ بعباده مِن هذه بولدها
“Allah lebih menyayangi hamba-Nya, dari pada
kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR.
Bukhari).
Sumber: Tajarub
Da’awiyah Najihah (Diterjemahkan Oleh ustadz Ammi Nur Baits)
diambil dari http://kisahmuslim.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar