بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah:
التوحيد
هو إفراد الله بالعبادة
التي خلق الله العالم
لأجلها
“Tauhid adalah mengesakan Allah dengan
beribadah kepadaNya semata yang merupakan tujuan penciptaan alam semesta ini.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Maksudnya, agar manusia dan jin mengesakan Allah dalam
beribadah dan mengkhususkan kepadaNya dalam berdo’a.
Tauhid berdasarkan Al-Qur’anul Karim ada tiga macam:
1. TAUHID RUBUBIYYAH
هو الاعتراف بأن الله هو
الرب و الخالق، و
قد اعترف بهذا الكفار
، و لم
يدخلهم ذلك في الإسلام
“Yaitu pengakuan bahwa sesungguhnya
Allah adalah Rabb dan Maha Pencipta. Orang-orang kafir pun mengakui macam
tauhid ini, tetapi pengakuan tersebut tidaklah menjadikan mereka tergolong
sebagai orang Islam.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَئِن
سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ
اللَّهُ
“Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka (orang-orang kafir): “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya
mereka menjawab: “Allah”.” (QS. Az-Zukhruf: 87)
Berbeda dengan orang-orang komunis, mereka mengingkari
keberadaan Rabb. Dengan demikian, mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir
jahiliyyah.
2. TAUHID ULUHIYYAH
هو توحيد الله بأنواع
العبادات المشروعة ، كالدعاء و
الاستعانة و الطواف و
الذبح و النذر و
غيرها
“Yaitu mengesakan Allah dengan
melakukan berbagai macam ibadah yang disyari’atkan. Seperti berdo’a, memohon
pertolongan kepada Allah, thawaf, menyembelih binatang qurban, bernadzar dan
berbagai ibadah lainnya.”
Macam tauhid inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir.
Dan ia pula yang menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat
terdahulu dengan para rasul mereka, sejak Nabi Nuh ‘alaihis salam hingga
diutusnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam banyak suratnya, Al-Qur’anul Karim sering memberikan
anjuran soal tauhid uluhiyyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo’a dan
meminta hajat khusus kepada Allah semata. Dalam surat Al-Fatihah misalnya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah,
dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
Maksudnya, khusus kepadaMu (ya Allah) kami beribadah, hanya
kepadaMu semata kami berdo’a dan kami sama sekali tidak memohon pertolongan kepada
selainMu.
Tauhid uluhiyyah ini mencakup masalah berdo’a semata-mata
hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-Qur’an, dan tunduk berhukum kepada
syari’at Allah. Semua itu terangkum dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّنِي
أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah,
tidak ada sesembahan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Thaha: 14)
3 TAUHID ASMA’ WA SHIFAT
هو الإيمان بكل بكل
ما ورد في القرآن
الكريم و الحديث الصحيح
، من صفات
الله التي وصف بها
نفسه ، أو وصف
بها رسوله صلى الله
عليه و سلم
“Yaitu beriman terhadap segala apa
yang terkandung dalam Al-Qur’anul Karim dan hadits shahih tentang sifat-sifat
Allah yang berasal dari penyifatan Allah atas DzatNya atau penyifatan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara
benar, TANPA ta’wil (تأويل
/penafsiran), tahrif (تحريف/penyimpangan),
takyif (تكييف
/visualisasi, penggambaran), ta’thil (التعطيل
/pembatalan, penafian), tamtsil (التمثيل
/penyerupaan), tafwidh (تفويض
/penyerahan, seperti yang banyak dipahami oleh manusia) .
Misalnya tentang sifat Al-Istiwa‘ (الاستواء/bersemayam di atas), An-Nuzul (النزول /turun), Al-Yad (اليد /tangan), Al-Maji’ (المجيء /kedatangan) dan
sifat-sifat lainnya, kita menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan
keterangan ulama salaf. Al-Istiwa’ (الاستواء)
misalnya, menurut keterangan para tabi’in sebagaimana yang ada dalam Shahih
Bukhari berarti Al-’Uluw wal Irtifa’ (العلو
و الارتفاع /tinggi dan berada di atas) sesuai dengan
kebesaran dan keagungan Allah . Allah berfirman,
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah secara benar adalah
dengan TANPA hal-hal berikut ini:
1. Tahrif (penyimpangan): Memalingkan dan menyimpangkan
zhahir-nya (makna yang jelas tertangkap) ayat dan hadits-hadits shahih pada
makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (استوى
/bersema-yam di tempat yang tinggi) diartikan istaula (استولى /menguasai).
2. Ta’thil (pembatalan, penafian): Mengingkari sifat-sifat
Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit (على السماء), sebagian kelompok yang sesat mengatakan
bahwa Allah berada di setiap tempat (في
كل مكان).
3. Takyif (visualisasi, penggambaran): Menvisualisasikan
sifat-sifat Allah. Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di
atas ‘Arsy itu begini dan begini. Bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy tidak
serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan tak seorang pun yang mengetahui
gambarannya kecuali Allah semata.
4. Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat-sifat Allah
dengan sifat-sifat makhlukNya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan, “Allah
turun ke langit, sebagaimana turun kami ini”. Hadits tentang nuzulnya Allah
(turunnya Allah) ada dalam riwayat Imam Muslim (*).
Sebagian orang menisbatkan tasybih (penyerupaan) nuzul ini
kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong besar. Kami tidak menemukan
keterangan tersebut dalam kitab-kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami
temukan adalah pendapat beliau yang menolak tamtsil dan tasybih.
5. Tafwidh (penyerahan): Menurut ulama salaf, tafwidh hanya
pada al-kaif (الكيف /hal,
keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa’ misalnya berarti al-’uluw (العلو /ketinggian), yang tak
seorang pun mengetahui bagaimana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali hanya
Allah.
Sedangkan tafwidh (penyerahan) menurut Mufawwidhah
(orang-orang yang menganut paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan
makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa yang diterangkan
oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, Rabi’ah guru besar
Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua sependapat bahwa, “Istiwa’
(bersemayam di atas) itu jelas pengertiannya, bagaimana cara/keadaannya itu
tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah
bid’ah.”
(*) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ينزل ربنا تبارك و
تعالى كل ليلة إلى
سماء الدنيا
“Rabb kita turun pada setiap malam
ke langit dunia.” (HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758)
Maraji’: Minhaj Al-Firqoh An-Najiyyah wa Ath-Thaifah
Al-Manshurah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar